Hakekat Manusia menurut Auguste Comte
Auguste Comte
Auguste Comte merupakan filosof dan
warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang
terkenal itu. Ia lahir di Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798.
Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia
seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.
Auguste Comte menerima dan mengalami
secara langsung akibat-akibat negatif revolusi tersebut khususnya dibidang
sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan
dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk
memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan
epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam
aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena
didukung oleh para elit-ilmiah dan
maraknya era industrialisasi saat itu
Comte bukanlah orang yang menyukai
hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care pada masalah-masalah sosial
dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon, Comte mencoba mengadakan
kajian problem-problem sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena
ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai
bapak sosiologi.
Di antara karya-karyanya Auguste
Comte, Cours de Philosphie Possitivedapat dikatakan sebagai masterpiece-nya,
karena karya itulah yang paling pokok
dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan
aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan
perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia
berlangsung dalam tiga tahap yaitu :
1.
Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia
percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati
yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap
sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang
percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada
makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi
tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang
menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang
menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu
kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap
tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme).
Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat
diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada
dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan
tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu
dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia
mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini,
manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di
balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2.
Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai
tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan
varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya
diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan
benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat
umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu
misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan
dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
3.
Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa
tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang
mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari
asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang
sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang
orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada
fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai
akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang
khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi
dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah
satu fakta yang umum.
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut
tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga
berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa
segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis,
sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi
hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak
saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu
dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh ilmu pengetahuan
tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun
bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya
tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin
kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat
mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa
pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya
sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat
positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala
yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan
penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur
isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat
mengungkapkan kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut
kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena
kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte
tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap
manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis
dan positif ilmiah. Dalam hal ini
Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada
tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan”
kenyataan. Meningkat remaja dan mulai
dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan
metode-metode positif dan ilmiah.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar